
Batang Anai, Fakta Hukum Nasional _ 23 Juni 2025, Pembunuhan disertai mutilasi terhadap Septia Adinda (25), perempuan muda asal Batang Anai, mengguncang publik bukan hanya karena kekejamannya, tapi juga karena beragam tanda tanya yang masih menyelimuti kasus ini. Tersangka tunggal yang telah diamankan, Satria Juhanda alias Wanda (26), dinilai praktisi hukum sebagai sosok yang mungkin bukan bekerja sendiri.
Mahdiyal Hasan, S.H., M.H., praktisi hukum pidana, menilai kejahatan ini sebagai krisis moral dan bukti lemahnya sistem deteksi dini kriminalitas. “Pembunuhan seperti ini bukan sekadar soal siapa pelaku dan siapa korban. Ini adalah ujian besar bagi negara, apakah ia hadir melindungi warganya secara utuh,” tegas Mahdiyal saat dihubungi Senin (23/6/2025).
Indikasi Kuat Kejahatan Terorganisir
Mahdiyal menilai tindakan mutilasi yang dilakukan Wanda secara sistematis dan sadis menunjukkan indikasi kuat adanya keterlibatan pihak lain. “Actus reus atau perbuatan fisik kejahatan seperti ini nyaris mustahil dilakukan sendirian, apalagi di ruang terbuka seperti pabrik bata tanpa diketahui orang,” jelasnya.
Tempat kerja pelaku yang juga menjadi lokasi kejadian dinilai sebagai bagian dari skenario yang telah dipetakan. “Ini bukan TKP acak. Ini ruang yang dipilih karena peluangnya tinggi untuk mengaburkan jejak.”
Pasal-Pasal Berat Mengintai Pelaku dan Pihak Lain
Dalam kerangka hukum pidana Indonesia, Wanda dapat dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Tapi Mahdiyal menegaskan, penyidikan tidak boleh berhenti di satu nama.
“Siapa pun yang turut serta (Pasal 55), membantu (Pasal 56), menyembunyikan (Pasal 221), atau tidak melapor (Pasal 181) bisa dikenai pidana. Tidak boleh ada pembiaran.”
Desakan Audit Forensik dan Investigasi Independen
Mahdiyal menyerukan agar penyidikan tidak semata berdasarkan pengakuan pelaku, melainkan ditopang oleh audit forensik menyeluruh, mulai dari uji DNA, rekonstruksi waktu, jejak digital, hingga pemetaan hubungan sosial korban dan pelaku.
“Seringkali penyidikan berhenti pada titik yang ‘cukup’. Padahal, keadilan tidak boleh berhenti sebelum semua simpul kejahatan terungkap.”
Perlu Psikologi Forensik: Pelaku Diduga Telah Membunuh Sebelumnya
Mahdiyal mengungkap fakta mengejutkan: Wanda diduga pernah membunuh dua perempuan lain setahun lalu, dan sempat berpura-pura membantu pencarian korban.
“Ini manipulasi psikologis yang sangat berbahaya. Penegak hukum kita perlu dibekali ilmu psikologi forensik, bukan sekadar mengandalkan intuisi.”
Ia menyerukan kepada Kapolri hingga Kapolsek agar penguatan kapasitas penyidik menjadi prioritas nasional, terutama dalam mendeteksi pola kebohongan dan manipulasi pelaku kekerasan ekstrem.
Aspek Sosial: Jangan Normalisasi Kekejaman
Mahdiyal mengingatkan bahwa tragedi ini bukan hanya kegagalan hukum, tapi juga kegagalan sosial: lingkungan kerja yang permisif, pengawasan lemah, dan komunitas yang mungkin menutup mata.
“Seorang perempuan dimutilasi di tempat kerja pelaku yang dikenal masyarakat. Ini tentang kelengahan, mungkin juga konspirasi kecil. Jangan dinormalkan.”
Panggilan Terbuka ke Masyarakat: Lawan Diam dengan Keberanian
Menanggapi imbauan polisi agar masyarakat membantu penyidikan, Mahdiyal menegaskan: perlindungan terhadap pelapor adalah keharusan mutlak. Dalam KUHAP dan UU Perlindungan Saksi dan Korban, identitas pelapor wajib dirahasiakan.
“Jika tahu, sampaikan. Jika takut, cari jalur aman. Jangan biarkan kejahatan seperti ini menjadi preseden buruk bahwa hukum hanya tajam ke bawah.”
Tantangan Besar untuk Negara
Kasus ini bukan sekadar soal pembunuhan, tapi tentang kemampuan negara menjawab kekejaman telanjang dengan keadilan menyeluruh.
“Jika keadilan gagal bicara, maka luka Sept ia adalah luka semua perempuan di negeri ini.”..(KMK)