
Batang Anai, Fakta Hukum Nasional _ Tragedi mutilasi yang dilakukan oleh Satria Johanda alias Wanda di Korong Lakuak, Nagari Sungai Buluah, telah meninggalkan trauma mendalam. Namun lebih dari sekadar horor kriminal, kasus ini mencerminkan rapuhnya sistem sosial dan hilangnya fungsi adat dalam masyarakat Minangkabau hari ini.
Pengamat sosial-budaya Minang, Mahdiyal Hasan, SH, menilai tragedi ini sebagai sinyal keras bahwa nilai-nilai adat dan kontrol sosial di tengah masyarakat nyaris lumpuh.
“Kasus Wanda bukan hanya tentang kejahatan individual. Ini peringatan bahwa nilai adat kita mulai runtuh. Hukum tidak hanya soal undang-undang, tapi juga norma yang tumbuh dan dihormati dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Mahdiyal, Jumat (27/6/2025).
Tigo Tungku Sajarangan Mulai Pincang
Dalam pandangan Mahdiyal, runtuhnya fungsi “Tigo Tungku Sajarangan”—ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai—menjadi penyebab utama hilangnya arah sosial masyarakat.
“Ninik mamak tidak lagi mendidik anak kemenakan, ulama kehilangan suara akhlak, dan cadiak pandai tak hadir membentuk kesadaran hukum. Sistem adat telah membiarkan generasi tumbuh dalam gelap,” ungkap Mahdiyal dengan nada prihatin.
Ia menekankan bahwa Wanda hanyalah salah satu dari banyak hasil akhir dari kegagalan kolektif sosial dan budaya.
Jangan Hakimi Keluarga, Salahkah Sistem
Mahdiyal juga menanggapi penolakan warga terhadap keluarga pelaku. Menurutnya, pengucilan bukan solusi.
“Trauma warga itu wajar. Tapi menyalahkan keluarga tidak menyelesaikan masalah. Kita harus sadar bahwa sistem sosial yang lemah membuat penyimpangan seperti ini tumbuh subur,” ujarnya.
Ia menyerukan pendekatan budaya dalam proses penghukuman, agar tidak hanya bertumpu pada pidana negara, tetapi juga disertai kearifan lokal.
Bangkitkan Kembali Fungsi Adat, Bukan Sekadar Simbol
Mahdiyal mendesak lembaga adat dihidupkan kembali secara fungsional, bukan sekadar formalitas.
“Kita tak boleh menunggu tragedi berikutnya baru sadar. Kalau ‘tungku’ kita terus dibiarkan mati, jangan heran kalau ‘Wanda-Wanda’ baru akan muncul,” tegasnya.
Ia mendorong sinergi antara adat, negara, dan aparat seperti Bhabinkamtibmas dan Babinsa untuk membangun supremasi hukum berbasis nilai lokal.
Hukum Harus Hidup di Rumah, Bukan Hanya di Pengadilan
Tragedi ini, menurut Mahdiyal, jadi pengingat bahwa hukum tak boleh hanya hidup di ruang sidang.
“Hukum harus kembali hadir di rumah gadang, di surau, dan di kampung. Hanya dengan itu Minangkabau bisa kembali menjadi tanah yang membesarkan peradaban,” tutup Mahdiyal Hasan dengan harapan..(KMK)