
Padang, Fakta Hukum Nasional Langit Padang siang itu tampak biasa saja. Kamis, 22 Mei 2025, jam menunjukkan pukul 14.00 WIB ketika hidup saya berubah. Di lantai empat Gedung Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, saya tengah diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Perumda Padang Sejahtera Mandiri tahun 2021. Didampingi tim hukum dari Palito Law Firm — Yul Akhyari Sastra, Dini Puspita Sari, dan Aidil Permata — saya menjalani tahapan akhir sebelum status saya resmi berubah: dari warga biasa menjadi tahanan negara.
Warna merah muda dari rompi tahanan yang dikenakan, dinginnya borgol di pergelangan tangan, dan sorotan kamera yang tak henti mengikuti tiap langkah saya dari tangga ke lobi — semuanya terekam jelas dalam ingatan. Di lobi itu, di hadapan awak media, saya berdiri membelakangi kerumunan. Tubuh saya ditampilkan, sementara suara jaksa membacakan poin-poin sangkaan. Ironisnya, itulah pertama kali saya benar-benar mendengar secara lengkap materi tuduhan yang ditujukan kepada saya.
Saya hanya bisa diam. Di dalam hati, saya meminta maaf kepada masyarakat Kota Padang, pemilik sejati dari Perumda yang pernah saya pimpin. Sebuah amanah yang saya emban sejak menjadi Dewan Pengawas (2016–2018), hingga menjabat Direktur Utama (2019–2022), dengan niat menjadikan perusahaan daerah itu lebih baik.
Setelah konferensi pers, saya digiring ke mobil tahanan. Hari itu ternyata juga menjadi hari pertama TNI ikut mengamankan kantor kejaksaan di Indonesia. Saya pun dibawa ke Rutan Kelas II B Anak Air Padang. Proses registrasi berlangsung rapi. Pemeriksaan kesehatan di klinik rutan dilalui, sebelum akhirnya saya digiring ke ruang pengarahan bersama tahanan lain.
Kami dimasukkan ke dalam sel khusus bernama Trapsel — tempat pengenalan lingkungan atau Mapenaling. Ada 21 tahanan dalam sel itu, sebagian besar tersandung kasus narkoba. Setiap sel memiliki aturan tak tertulis. Tahanan yang dianggap mampu berkomunikasi dengan baik akan dipercaya sebagai Ketua Kamar — orang yang menyampaikan segala keperluan penghuni sel kepada petugas.
Di balik jeruji, kami hanya punya satu kamar mandi dan kakus. Namun, air selalu tersedia, dijaga oleh “tamping” (tahanan pendamping) dan Ketua Kamar. Tiga kali sehari, makanan diantar. Menu sederhana, kami menyebutnya “nasi cempreng”, tapi cukup bergizi, lengkap dengan buah atau ubi rebus sebagai pencuci mulut.
Hari-hari di Trapsel terlewati perlahan. Setelah beberapa hari, saya dipindahkan ke sel utama — bergabung dengan tahanan yang sedang menjalani proses persidangan. Barulah setelah itu saya diperbolehkan menghubungi keluarga. Telepon dan video call disediakan di wartelsus (warung telekomunikasi khusus). Namun, penggunaan ponsel pribadi adalah pelanggaran berat. Razia rutin dilakukan, dan pelanggar bisa dipindahkan ke sel isolasi.
Sebagai muslim, saya sangat bersyukur karena bisa menjalankan ibadah dengan layak. Air untuk wudhu tersedia, dan setiap Jumat kami difasilitasi untuk salat Jumat di masjid dalam rutan. Ada pula program “santri”, dengan ustaz dari sesama tahanan yang memiliki latar pendidikan agama. Di tengah kesempitan, suasana spiritual memberi ruang batin untuk bertahan.
Kunjungan keluarga adalah momen yang paling saya tunggu. Meski terbatas, pelukan, tatapan mata, dan kalimat penyemangat dari orang-orang tercinta cukup menjadi oase. Ada rasa bersalah, tentu. Tapi juga ada kekuatan baru dari istri, anak-anak, dan orang tua yang tak pernah berhenti mendoakan.
Hidup di rutan tak berarti berhenti menjalani hidup. Kami bahkan punya waktu untuk rekreasi: sepak bola, senam, atau voli. Olahraga menjadi pelarian sehat dari beban psikologis yang menghimpit kami setiap hari.
Saya tak menulis ini untuk membela diri. Proses hukum akan berjalan, dan saya siap menjalaninya. Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan satu hal: menjadi tahanan bukan berarti kehilangan kemanusiaan. Di balik jeruji, kami tetap manusia. Masih belajar bersabar, menyesali, memahami, dan berharap.
Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada saya dan semua warga rutan untuk menjalani ujian ini. Dan semoga keadilan menemukan jalannya.
Rutan Anak Air, 26 Juni 2025
Poppy Irawan