
Solok, fakta hukum nasional — Air mata S (17), siswi SMA di Kota Solok, belum benar-benar kering. Ia baru saja melahirkan seorang bayi pada awal Januari 2025, buah dari hubungan yang disebut pihak keluarga sebagai penuh tekanan dan kekerasan. Di tengah perjuangannya sebagai ibu muda, sang ibu, D (41), menahan kecewa mendalam terhadap putusan hukum yang menurutnya tidak berpihak kepada anaknya sebagai korban.
Ia mengatakan, pelaku berinisial P (16), remaja yang menjalin hubungan dengan putrinya, hanya dijatuhi vonis rehabilitasi selama 1 tahun 3 bulan di panti sosial. Padahal, menurut D, peristiwa ini bukan sekadar soal hubungan remaja, tetapi telah berdampak serius terhadap fisik dan psikologis anaknya.
"Anak saya dipukul, dipaksa menggugurkan kandungan. Sekarang sudah melahirkan, tapi pelaku cuma dikirim ke panti sosial. Di mana letak keadilan bagi anak saya?" kata D, dengan suara tertahan.
Dia menceritakan, hubungan antara S dan P bermula dari perkenalan di media sosial pada Januari 2024. Awalnya terlihat biasa. Namun perlahan, keluarga mulai melihat perubahan pada S. Ia menjadi tertutup dan kerap menunjukkan tanda stres. Saat keluarga mengetahui bahwa S tengah mengandung, kondisi sudah cukup jauh berkembang.
Proses kelahiran berlangsung pada 6 Januari 2025. Namun, menurut keterangan D, selama masa kehamilan hingga persalinan, S mengalami tekanan hebat dari pelaku, termasuk dugaan ancaman dan pemaksaan aborsi.
"Pelaku pernah mengatakan, kalau sudah ada putusan hakim, dia tidak akan bertanggung jawab terhadap anak itu. Bahkan katanya hakim tidak percaya kalau itu anak dia," tutur D.
Jaksa Ajukan Banding
Kejaksaan Negeri Solok pun mengungkapkan ketidak puasan terhadap putusan Pengadilan Negeri Solok. Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Solok, Teddy Arhan, menyebut pihaknya telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Padang.
"Kami menuntut 3 tahun 3 bulan penjara. Namun vonis yang dijatuhkan hanya rehabilitasi. Kami sudah ajukan banding dan saat ini masih dalam proses," ujar Teddy.
Anak Putus Sekolah, Bekerja Serabutan
S kini tak lagi bersekolah. Ia harus bekerja sebagai buruh harian pembuat kulit lumpia untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama bayinya. Sejak persalinan hingga kini, tak ada bantuan dari pihak pelaku ataupun keluarganya.
"Anak saya sering menangis, sulit bicara. Dia harusnya masih sekolah, tapi sekarang hidup sendiri dengan anak yang tidak diakui bapaknya," kata D.
D menambahkan, seluruh beban kini dipikul oleh keluarga, terutama dirinya yang kini ikut membesarkan cucunya. Ia berharap, pada tingkat banding, majelis hakim dapat memberikan putusan yang lebih berpihak kepada korban.
"Tolonglah yang mulia, bantu kami mendapatkan keadilan. Bukan untuk membalas, tapi untuk masa depan anak saya agar ia tahu bahwa negara masih melindunginya," ujarnya lirih.
Sementara, kuasa hukum terpidana P, Linda Herawaty dikonfirmasi belum ada jawaban via pesan Whatsapp maupun telepon.(kld)