-->
  • Jelajahi

    Copyright © Fakta Hukum
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Selamat IdulFitri 1445 H

    Iklan

    Iklan

    Pandangan Filsafat Hukum dan Sejarah terhadap Perbandingan Kewenangan Dominus Litis dan Asas Oportunitas di Berbagai Negara serta Praktiknya di Indonesia (THERRY GUTAMA)

    Redaksi Fakta Hukum Nasional
    Minggu, 11 Mei 2025, Mei 11, 2025 WIB Last Updated 2025-05-11T12:47:04Z
    masukkan script iklan disini
    banner 719x885


    Padang, Fakta Hukum Nasional _ Dalam sistem hukum pidana, jaksa memiliki peran strategis sebagai penuntut umum. Dua prinsip yang menjadi dasar dalam pelaksanaan fungsi penuntutan adalah dominus litis dan asas oportunitas. Dominus litis menempatkan jaksa sebagai pengendali penuh atas perkara pidana yang diajukan ke pengadilan. Sebaliknya, asas oportunitas memberikan ruang bagi jaksa untuk mempertimbangkan apakah suatu perkara layak untuk dituntut, dengan memperhatikan faktor kepentingan umum dan efisiensi sistem hukum. Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum campuran memiliki dasar normatif untuk menerapkan kedua prinsip tersebut. Namun, penerapan dalam praktiknya sering kali menimbulkan tantangan, baik dari segi hukum, kelembagaan, maupun budaya penegakan hukum. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi landasan filsafat dan sejarah kedua prinsip tersebut, serta membandingkan penerapannya di beberapa negara dengan praktik di Indonesia.


    Filsafat Hukum dan Asal-Usul Sejarah 1. Dominus Litis dan Aliran Positivisme Hukum Dominus litis berasal dari tradisi hukum kontinental yang menempatkan jaksa sebagai pemegang kendali terhadap perkara sejak tahap penyidikan hingga penuntutan. Secara filosofis, prinsip ini sesuai dengan aliran positivisme hukum yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan tertib sosial. Dalam konteks ini, jaksa tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga mewakili kepentingan negara dalam proses peradilan pidana. 2. Asas Oportunitas dan Pemikiran Hukum Progresif Sebaliknya, asas oportunitas lahir dari aliran pragmatisme dan hukum progresif, yang menganggap bahwa hukum harus disesuaikan dengan konteks sosial. Di bawah prinsip ini, jaksa memiliki diskresi untuk memutuskan apakah perkara perlu dilanjutkan atau dihentikan demi kepentingan umum. Hal ini banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon.


    Perbandingan Internasional 1. Negara Kontinental (Jerman, Belanda) Negara-negara ini menganut dominance of prosecution berdasarkan prinsip legalitas mutlak. Jaksa wajib menuntut semua perkara pidana yang memenuhi unsur, tanpa mempertimbangkan kepentingan subjektif. Sistem ini menjamin konsistensi dan prediktabilitas hukum, namun kurang fleksibel dalam mengatasi overload perkara. 2. Negara Anglo-Saxon (Inggris, AS) Di Inggris dan Amerika Serikat, asas oportunitas sangat menonjol. Jaksa diberikan diskresi luas untuk menghentikan perkara atau melakukan negosiasi (plea bargaining). Ini memberi ruang untuk efisiensi, Dalam sistem common law, jaksa sangat independen dan oportunitas sangat luas. Namun, keberadaan grand jury dan jury trial berfungsi sebagai pengawas kekuasaan jaksa dalam sistem adversarial. 3. Sistem Campuran (Prancis) Prancis menerapkan sistem hibrida, di mana jaksa tetap memiliki peran sentral (dominus litis), namun pengawasan dilakukan oleh juge d’instruction (hakim investigatif). Sistem ini mencoba menyeimbangkan kekuasaan penuntutan dengan kontrol yudisial.


    Praktik di Indonesia Secara normatif, Indonesia mengakui peran jaksa sebagai dominus litis melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 (diubah menjadi UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan). Selain itu, Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk "mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum", yang merupakan bentuk adopsi asas oportunitas. Namun, praktik di lapangan menunjukkan adanya kendala struktural dan kultural: • Lemahnya akuntabilitas dalam penggunaan diskresi penuntutan • Belum adanya standar prosedural yang jelas dalam penerapan asas oportunitas • Potensi tumpang tindih dengan kewenangan penyidik (kepolisian) • Kurangnya pengawasan yudisial terhadap keputusan penghentian perkara Beberapa reformasi telah dilakukan, seperti penerapan restorative justice dalam perkara ringan, namun belum diatur secara holistik dalam KUHAP.


    Kajian ini menunjukkan bahwa perbedaan antara dominus litis dan asas oportunitas tidak hanya bersifat teknis yuridis, tetapi juga mencerminkan perbedaan filosofi hukum antara sistem legalistik dan progresif. Indonesia memerlukan pendekatan kombinatif yang mengakui keduanya: dominus litis sebagai prinsip dasar untuk menjaga integritas hukum, dan asas oportunitas sebagai pengecualian untuk menghadirkan keadilan substantif..(Rel)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini