
Padang, Fakta Hukum Nasional — 10 Mei 2025 Praktik penahanan ijazah oleh sejumlah SMA dan SMK Negeri di Sumatera Barat kembali mencuat ke permukaan. Dalih klasik seperti tunggakan uang komite kembali dijadikan alasan, meskipun larangan tegas dari otoritas pendidikan telah berulang kali disampaikan. Fenomena ini menjadi cerminan buram dunia pendidikan lokal: institusi yang seharusnya menjunjung keadilan justru ikut menyandera masa depan siswanya.
Bagi para lulusan SMA di Ranah Minang, ijazah adalah tiket menuju perguruan tinggi, dunia kerja, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, alih-alih menjadi simbol pencapaian, dokumen penting itu berubah menjadi “barang sandera” yang ditahan pihak sekolah dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Padahal, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat telah dengan tegas melarang praktik ini. Dalam Surat Edaran Nomor 100.3.4/2879/Disdik-2024 tertanggal 24 Juli 2024, dinyatakan bahwa sekolah dilarang menahan ijazah siswa dengan alasan apa pun, termasuk karena tunggakan biaya komite. Regulasi ini seharusnya menjadi jaminan perlindungan hak siswa tanpa syarat.
Namun demikian, laporan dari berbagai daerah di Sumbar menunjukkan bahwa praktik ini masih berlangsung. Ironisnya, bagi sejumlah sekolah, penahanan ijazah bahkan telah menjadi kebiasaan tahunan. Tidak tampak rasa bersalah atau kekhawatiran terhadap sanksi. Pengawasan dari Dinas Pendidikan pun dinilai belum efektif, belum cukup tajam untuk membongkar dan menghentikan pelanggaran.
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Pembinaan SMA Dinas Pendidikan Sumbar, Mahyan, menyampaikan kemarahannya. “Jika masih ada sekolah negeri yang menahan ijazah, silakan buat laporan tertulis ke Dinas. Kami akan tindak lanjuti,” tegasnya kepada ontime.id. Ia juga menekankan bahwa sanksi akan dikenakan kepada kepala sekolah yang melanggar, mulai dari teguran keras hingga pemecatan.
Namun, ancaman tanpa tindakan konkret hanya akan menjadi slogan kosong. Realitas di lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan, lambannya respons terhadap pengaduan, serta minimnya mekanisme sanksi yang transparan dan akuntabel. Di sisi lain, siswa dan orang tua lebih memilih bungkam karena takut akan intimidasi atau dipersulit ketika hendak mengambil ijazah. Ketakutan ini menjadikan pelanggaran hak sebagai sesuatu yang "dimaklumi," dan terus berulang tanpa perlawanan berarti.
Penahanan ijazah bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk kekerasan struktural dalam sistem pendidikan. Ini merupakan perampasan hak konstitusional siswa dan preseden buruk dalam pengelolaan pendidikan negeri. Ijazah bukan alat tukar atau jaminan pembayaran, melainkan pengakuan resmi atas capaian akademik yang tidak bisa digadaikan.
Dalam bayang-bayang idealisme pendidikan sebagai fondasi karakter bangsa, praktik seperti ini menjadi ironi besar. Lembaga yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan adil justru mempertontonkan ketidakadilan. Para pemerhati pendidikan pun angkat suara, menyebut praktik ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang harus segera dihentikan.
RONI KETUA DEWAN PIMPINAN WILAYAH RELAWAN PRABOWO INDONESIA KUAT (REPRO) PROVINSI SUMBAR
Dalam pernyataan terpisah, Ketua DPW REPRO Sumbar, Roni, menyampaikan keprihatinannya atas isu ini. “Kami sangat prihatin. Sudah jelas ada surat edaran dari Dinas Pendidikan Sumbar dan aturan perundang-undangan yang mengatur larangan penahanan ijazah,” ujarnya.
Ia mendesak agar penegak hukum turut turun tangan menindak oknum sekolah yang menahan ijazah siswa. “Kami meminta aparat penegak hukum segera bertindak terhadap pelaku pelanggaran ini,” tegasnya.
Sanksi bagi Sekolah yang Melanggar:
Kepala sekolah dapat dikenakan teguran keras, mutasi, bahkan pemecatan jika terbukti menahan ijazah. Masyarakat dapat melapor ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi secara tertulis maupun melalui kanal pengaduan resmi. tegasnya