
Padang Fakta Hukum Nasional _ Pelanggaran serius kembali mencuat dari tubuh birokrasi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sejumlah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Dinas Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) diketahui tidak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dengan alasan mengejutkan: tidak adanya instruksi dari pimpinan.
Tindakan ini bukan sekadar kelalaian administratif ini adalah bentuk nyata pembangkangan terhadap hukum dan pengkhianatan terhadap prinsip dasar penyelenggaraan negara yang bersih dan transparan.
Menurut Rahmat Yulanda Putra, S.H., pemerhati hukum dan tata kelola pemerintahan, sikap abai para PPK terhadap kewajiban pelaporan LHKPN merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
“LHKPN bukanlah formalitas, melainkan kewajiban hukum yang melekat pada setiap pejabat negara. Ketika seorang PPK berdalih tak melapor karena tak diperintah pimpinan, itu bukan hanya menyesatkan, tapi sekaligus bentuk pembangkangan terhadap UU. Ini membuka peluang korupsi dan merupakan tanda merah bagi integritas pejabat tersebut,” tegas Rahmat Yulanda.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pelaporan LHKPN diatur jelas dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020, yang mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menyampaikan laporan hartanya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
“PPK adalah pengelola anggaran. Ketika mereka tidak melaporkan harta kekayaannya, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan keuangan menjadi sangat besar. Ini bukan pelanggaran kecil—ini potensi kejahatan serius,” lanjut Rahmat.
Ketidakpatuhan ini menunjukkan bobroknya sistem pengawasan internal di lingkungan BMCKTR Sumbar. Jika pimpinan tidak tegas menindak dan malah membiarkan, maka mereka ikut bertanggung jawab atas pembiaran praktik melawan hukum tersebut.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, LHKPN adalah instrumen pengawasan publik. Ketika pejabat tidak melaporkannya, publik kehilangan hak untuk mengetahui apakah kekayaan pejabat tersebut wajar atau hasil dari praktik korupsi.
“Masyarakat berhak tahu. Negara tidak boleh tunduk pada budaya diam. PPK yang tidak patuh harus ditindak. Kalau pimpinan tidak bertindak, penegak hukum harus turun tangan,” tutupnya.
Tuntutan Tegas: Evaluasi dan Tindak Lanjut Hukum
Atas dasar ini, diperlukan langkah tegas dari Gubernur Sumatera Barat dan aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melakukan klarifikasi, pemeriksaan, dan jika perlu—tindak pidana atas unsur kelalaian yang disengaja.
Ketika transparansi dikubur oleh budaya saling tutup mata, maka korupsi akan menemukan jalannya. LHKPN bukan simbol, tapi senjata melawan korupsi. Jika pejabat publik tak mau menggunakannya, maka ia telah menjadi bagian dari masalah..(tim08)