 
Mentawai, Fakta Hukum Nasional _ Masyarakat Adat Taileleu dari Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara, hari ini menggelar aksi damai di halaman Kantor Bupati dan Kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Aksi tersebut menyoroti pelanggaran hak atas Tanah Ulayat serta pemasangan plang sepihak oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) Desa Betumonga.
Aksi berlangsung tertib, damai, dan bermartabat, dengan membawa delapan tuntutan utama yang ditujukan kepada Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa dan Ketua DPRD Mentawai Ibrani Sababalat. Dalam pernyataan sikapnya, masyarakat adat Taileleu menegaskan komitmen untuk memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat hukum adat yang terancam akibat kebijakan tata ruang yang tumpang tindih dan tidak berpihak pada masyarakat adat.
Satgas Klaim 738 Hektar Lahan Adat, Warga Tuntut Koreksi Data
Koordinator Lapangan Aksi, Mangasa Taileleu, menyampaikan bahwa Satgas PKH mengklaim 738 hektar dari total 766 hektar wilayah adat Betumonga. Namun hasil pengukuran bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Satgas menunjukkan fakta berbeda: hanya 7,8 hektar yang berada dalam kawasan hutan dan digarap oleh perusahaan.
“Temuan di lapangan sangat jelas: hanya 7,8 hektar yang termasuk dalam kawasan. Tapi laporan Satgas ke Jakarta justru menyebut 738 hektar telah digarap masyarakat. Ini menyesatkan dan merugikan kami,” tegas Mangasa Taileleu.
Ia menilai laporan tersebut merupakan bentuk pemutarbalikan data yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Pemda dan DPRD Mentawai Janji Tindak Lanjut ke Kementerian
Dalam audiensi yang digelar usai aksi, Pemda dan DPRD Mentawai memberikan respon positif. Bupati dan Ketua DPRD Mentawai menyatakan akan menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menindaklanjuti hasil temuan lapangan dan tuntutan masyarakat adat.
“Respon Pemda menggembirakan. Mereka berkomitmen menyurati kementerian. Ini bukan hanya persoalan Desa Betumonga, tapi persoalan seluruh masyarakat adat di Kepulauan Mentawai,” ujar Mangasa.
Delapan Tuntutan Masyarakat Adat Taileleu
Melalui selebaran pernyataan sikap dan seruan moral, masyarakat adat Taileleu menyampaikan delapan tuntutan utama sebagai berikut:
1. Cabut seluruh plang Satgas PKH yang dipasang di lahan masyarakat adat.
2. Menuntut Pemda dan DPRD Mentawai untuk:
a. Melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
b. Menolak kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan mitra pendamping.
c. Menyelesaikan batas wilayah secara partisipatif.
3. Mendesak pembentukan Tim Klarifikasi dan Delimitasi Wilayah Adat yang melibatkan tokoh adat, akademisi, BPN, dan instansi teknis.
4. Meminta Pemerintah Pusat meninjau kembali Perpres No. 5 Tahun 2025, agar tidak menjadi dasar pemidanaan terhadap masyarakat adat.
5. Menegaskan keabsahan aktivitas ekonomi masyarakat adat di lahan APL yang memiliki alas hak sah (PHAT/BPN) serta menolak penerapan hukum kehutanan di wilayah tersebut.
6. Menuntut pemulihan hak ekonomi masyarakat adat akibat penghentian aktivitas di wilayah APL.
7. Mendesak percepatan penerbitan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta proses pemetaan wilayah adat yang transparan.
8. Menuntut penyelesaian pemetaan batas wilayah adat secara terukur untuk memberikan kepastian hukum dan tata ruang bagi masyarakat Mentawai.
Seruan Damai dan Keadilan Ruang bagi Mentawai
Melalui aksi ini, Masyarakat Adat Taileleu menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan semata untuk Desa Betumonga, melainkan untuk seluruh masyarakat adat di Kepulauan Mentawai yang menghadapi persoalan serupa.
Mereka menyerukan kepada pemerintah pusat, daerah, dan lembaga legislatif agar menegakkan keadilan ruang, menghentikan kriminalisasi masyarakat adat, serta menjamin perlindungan hukum atas tanah ulayat...(Muslim)


 
 
 

 
 
 
 
